Wednesday 1 June 2011

Ku Tak Ingin Menyesal..

Tersentak kaget, terbangun dari tidur karena bunyi alarm. Kupaksakan diri untuk beranjak dari kelelapan dan kenikmatan tidur, kubasuh sebagian anggota badan dengan air hangat sebagai syarat untuk menghadap sang Rabbi, untuk mengadu dan memohon petunjuk akan perjalanan hidup dan usia yang terus menua ini, dinginnya malam tak ayal membuatku mengigil, walaupun musim dingin mulai berakhir dan mulai digantikan dengan musim semi, yang ditandai dengan mekarnya bunga-bunga sakura di negeri matahari ini.

Setelah kupersembahkan sujudku kepada Rabbi, ditutup dengan rangkaian harapan dan asa dari setiap permohonan yang terucap oleh hati lewat lisan, kulangkahkan kaki menuju dapur, mencari sesuatu untuk sekedar mengisi perut sebagai bekal untuk menjalankan salah satu ibadah yang disunnahkan. Kesekian kali sudah kubiasakan shaum dinegeri sakura ini. Membuatku banyak belajar dan mendapatkan hikmah dinegeri yang penuh dengan gemerlap duniawi ini, dimana manusia-manusia berjalan dengan potensi yang mereka angkuhkan tanpa mau mengenal siapa Yang Maha Berpotensi dari segala-galanya. Mungkin suatu yang tidak mungkin untuk melakukan ibadah dinegeri ini, karena banyaknya keindahan dan kenikmatan dunia yang ditawarkan dalam setiap langkah, tapi disinilah tantangan bagi diriku, untuk tetap berpendirian teguh dengan aqidahku, tak menukarkan kenikmatan akhirat yang telah dijanjikan Sang Khalik dengan kenikmatan dunia yang hanya sesaat. Dengan segala Rahmat dan Petunjuk Sang Khalik, bathin ini masih diterangkan oleh cahaya-Nya. Dimana di satu sisi manusia lain dibutakan dengan kenikmatan dunia yang ditawarkan.

Sesaat sebelum sang fajar menyingsing, kusempatkan membuka catatan kecilku. Untuk kesekian kalinya ku raih penaku, sekedar menorehkan coretan-coretan mengenai apa yang terjadi dan telah dilakukan. Teringat akan masa kecilku yang sungguh menakjubkan dengan segala skenario Allah di dalamnya. Walau begitu, tak jarang terbesit dihati penyesalan dan rasa malu akan kisah lalu dan latar belakang keluarga yang hanya berasal dari pelosok negeri agraris. Namun tak kalah banggaku akan keluarga dan lingkungan yang sarat dengan pendidikan.

Saat itu, di setiap hari minggu, kuhabiskan waktu dengan menggembalakan kambing-kambing. Sejak pagi, kutemani kambing-kambingku menyantap rerumputan di padang pegunungan dekat kampung. Perlahan, sang mataharipun mulai meninggi, teriknya mulai menyengat, tak lama panasnya pun membalut kulitku. Ketika sang matahari telah meninggi dan tepat diatas kepala, ku sisihkan waktu untuk beristirahat dibawah pohon. Tanpa sadar akupun terlelap dalam tidur. Tiba-tiba aku terbangun oleh seorang kakek tua yang juga hendak beristirahat dibawah pohon itu. Kucoba pejamkan kembali mataku, tapi tak bisa. Akhirnya kuputuskan untuk mengajak kakek itu bicara. Diawali dengan obrolan-obrolan kecil, aku semakin penasaran dengan kakek itu. Rambutnya telah putih beruban, gigi yang telah banyak tanggal, dan tubuh yang sudah tidak tegak lagi, menandakan usianya yang sudah sangat tua, tapi tampaknya tidak memudarkan semangatnya untuk terus bekerja. Ku coba ajukan satu pertanyaan sambil lalu padanya, hal apa yang beliau sesalkan di usia tua ini. Sambil tersenyum dengan khasnya, ia menoleh kepadaku, ia berkata,hal yang paling disesali adalah saat ia tidak memanfaatkan waktunya ketika muda dengan bekerja keras, hingga akhirnya di masa sekarang, dimana dirinya sudah berkeluarga dan memiliki anak, sudah tak ada daya lagi untuk berbuat banyak, bahkan anak-anaknya pun tak begitu bisa diharapkan, tidak jauh berbeda dengan dirinya dulu, banyak menyia-nyiakan waktu dengan berkumpul dengan kawan, melakukan hal-hal yang tidak berguna, menyebabkannya untuk bekerja justru diusia setua ini, sekedar untuk mempertahankan hidupnya sendiri. Mengharapkan anak-anaknya, sangatlah tidak mungkin karena mereka pun kesulitan. Kisahnya, membuatku terhanyut dalam rasa iba dan ketakutan yang menyeruak dalam diri. Takut jika masa tuaku akan sepertinya.

Haripun mulai sore, setelah Pak Tua tadi berpamitan pulang, kumulai mengarahkan gembalaanku untuk dibawa pulang. Penggembalaan hari ini diakhiri dengan cerita Pak Tua.Aku sampai dirumah, tepat ketika matahari mulai terbenam. Segera ku kandangi kambing-kambingku. Tak lama, terdengar bedug ditabuh, menandakan masuknya waktu shalat maghrib. Bergegas kepenampungan air untuk berwudhu, kurapikan pakaian dan berlari-lari kecil kearah masjid. Dimasjid kudapati shaf terdepan, kurapatkan barisan sambil menoleh kekiri dan kekanan memeriksa kelurusan barisan shafku. Beberapa sujud kusembahkan, kututup dengan salam, serta kuakhiri dengan beberapa potongan lafadz do’a yang kuingat dan kupelajari di sekolah. Tak lama, datang seseorang menghampiri. Rupanya penjaga masjid, menanyakan kenapa aku terlambat datang hari ini, hingga tak sempat mengumandangkan adzan, untuk memberitahu pada yang lain akan tibanya waktu sholat. Kujelaskan saja hari ini pulang terlambat dari menggembalakan kambing. Setelah bercakap-cakap sedikit, kucoba bertanya penjaga mesjid, pertanyaan yang mirip dengan yang kutanyakan pada Pak Tua tadi siang. Sambil memperbaiki duduknya, dengan bersila, mulailah dijawab pertanyaanku tadi. Sambil melihat ke langit-langit masjid, mengalirlah cerita, tentang masa mudanya. Lagi-lagi menyesal dengan masa mudanya. Aktifitasnya sekarang tidak seperti yang dilakukan saat mudanya. Teramat menyesal ketika masa mudanya tidak dimanfaatkan dengan sungguh-sungguh beribadah. Sekarang haruslah ia mencukupkan dengan bacaan Al-Qur’an yang terbata-bata dan kepayahan dalam menghafal surat-surat, karena dinding otaknya sudah tak kuat lagi melekatkan. Disela-sela pembicaraan, dia memintaku untuk melihat ke seluruh isi masjid, untuk memeriksa adakah pemuda yang datang kemasjid ini. Tak perlu kujawab dengan lisan, sudah jelas terlihat, tak ada yang datang melainkan hanya orang-orang tua dan sedikit anak-anak kecil seusiaku yang meramaikan. Aku hanya terdiam.Tersentak kukembali dari lamunan. Tanpa sadar, dalam diam ku memohon maaf kepada sang Rabbi atas kelalaian diusia muda ini. Sempat terbesit dalam hati, untuk menikmati segala tawaran dunia, tanpa pilih-pilih, selagi masih muda, untuk apa pusing-pusing, cukuplah ibadah di usia tua saja. Astaghfirullah, bolehkah begitu, memilih waktu untuk beribadah berdasar pada keegoan dan nafsu. Suatu kekhilafan yang sangat memalukan dihadapan Allah.
Bagaimana jika usia ini tidak sempat mengecap senja dan bertaubat atas dosa-dosa di masa muda? Sungguh kematian akan datang kapanpun, dimanapun tanpa ada tanda dan tak pernah meminta izin kepada kita (untuk apa meminta izin, toh kita hanya ‘menyewa’ jasad dan ruh ini).
Hari itu, sungguh menjadi saat yang penuh dengan pelajaran yang luar biasa. Kupetik pengalaman dan hikmah dari Pak Tua dan penjaga mesjid. Tak akan kusia-siakan lagi waktu. Ku tak mau menyesal seperti mereka. Usai shalat ‘isya, bergegas ku pulang ke rumah. Kulanjutkan kegiatan dengan membuka pelajaran besok.

Keesokan hari, seusai shalat subuh, ku sempatkan mengantar dagangan ibu ke pasar. Hari ini aku bergegas lebih awal ke sekolah, karena di hari ini adalah giliranku untuk menjadi pemimpin upacara penaikan bendera. Upacara pagi ini begitu khidmat, dengan kepala sekolah sebagai pembinanya. Beliau adalah figur yang sangat kusenangi, karena setiap sebelum pulang, beliau selalu meminjamkan buku untuk kubaca, tak perduli apakah aku suka atau tidak. Terkadang tak sempat kuselesaikan membaca buku-buku itu karena tak sanggup penuhi target waktu yang diberikan kepala sekolah untuk menyelesaikannya.nUpacara pagipun selesai dengan dibubarkannya barisan. Kamipun memasuki kelas masing-masing. Pelajaran hari ini selesai sebelum waktunya, karena sang guru harus meninggalkan kelas untuk selesaikan urusannya. Akhirnya jam terakhir diisi oleh kepala sekolah. Beliau memberikan arahan-arahan. Pembicaraan beliau membuatku tertarik, karena disela-sela pembicaraanya ,beliau menggunakan bahasa yang saat itu belum kupahami, yaitu bahasa Inggris. Beliau sangat pandai, tak jarang beliau membantu kami menyelesaikan setiap mata pelajaran yang dianggap sulit. Ingin sekali pintar seperti beliau. Muncul dalam hatiku keinginan untuk mengajukan pertanyaan, sama dengan yang pernah kutanyakan pada Pak Tua dan penjaga mesjid, tapi belum sempat kubertanya, tiba-tiba kepala sekolah mengungkapkan sebuah kalimat, yang merupakan jawaban dari pertanyaan yang belum lagi kuungkapkan. Sama seperti sebelumnya, beliaupun mengatakan menyesal di hari tuanya ini. Dimana masa mudanya tidak dimanfaatkan dengan belajar sungguh-sungguh. Waktunya banyak terbuang dengan segala aktifitas yang tidak berguna. Kata penutup dari kalimatnya, beliau menasihati kami dengan beberapa potongan hadist dari Rasulullah, untuk menyemangati kami dalam belajar.
Seingatku hadist itu berbunyi, “ Tuntutlah Ilmu walaupun sampai dinegeri china”. Kemudian beliau melanjutkan, “Tuntutlah sampai masuk ke liang kubur sekalipun”. Beliau mengatakan dengan penuh semangat. Mencari ilmu tidak harus memliki orang tua yang kaya, orang tua yang berjabatan, sehingga jika tidak demikian maka harus bermalas-malasan.

Sungguh luar biasa, banyak pelajaran yang kudapat dari mereka.
Dengan penuh pengharapan kepada Sang Khalik, andai raga ini selalu diberi kesempatan untuk mencari limu-Nya. Ku tak ingin menyesal di hari kemudian, bahkan ku tak ingin menyesal di akhirat kelak, dimana semuanya tidak bisa terulang dan di ulang lagi.

Di negeri sakura ini, apa yang telah orang-orang bagi padaku dulu, kucoba untuk menerapkannya. Awalnya kumencoba, kemudian kujadikan itu semua menjadi kebutuhan dan bekal dalam mengarungi perjalanan hidup yang sesaat ini.

Beberapa hari yang lalu, sebelum catatan kecilku ini rampung, kucoba menghubungi mereka. Melalui keluarga, kudapati kabar tentang ketiadaan mereka di alam fana ini. Ingin kukatakan langsung pada mereka, bahwa apa yang selama ini tak bisa mereka lakukan saat muda, telah kulakukan dengan baik. Namun ku kubur niat itu, karena sudah tak mungkin kulakukan, hanya lantunan ayat-ayat dan do’a kusampaikan dan kutitipkan, semoga mereka di tempatkan disebaik-baiknya tempat disisi Allah SWT. Amin…
日本、岡山
2010年 04月 09日
Al raf Bima…

Bisakah di Tunda?

Hari ini ada jadwal dengan dokter gigi langgananku, kukayuh sepedaku walaupun mata masih terasa ngantuk karena kurang tidur akibat kerja di malam hari, tapi mau tidak mau harus di paksa karena waktu adalah uang bagi orang-orang dinegeri sakura ini, dan bagiku bukan karena itu yaitu ku akan membayar hutangku dengan menepati janjiku pada waktu yang telah ditentukan. Dari apartemenku sampai ke tempat dokternya membutuhkan waktu skitar 5 menit, diperjalananku tak terasa, di sepanjang jalan ku benar-benar menikmatinya, suasananya yang tenang, udaranyapun bersih dan segar, air sungainya mengalir indah dihiasi ikan-ikan kecil, sungguh indah, keharmonisan antara manusia dengan lingkungan serta mahluk di sekitar sungguh terjaga. orang-orangnyapun ramah menyapa dan disapa ketika berpapasan.

Akhirnya ku sampai ditempat dokter giginya, ku simpan sepedaku ditempat yang telah disediakan, kumemasuki kliniknya, pintupun terbuka dengan sendirinya, "おはよう ございます"(ohayou gozaimasu) begitulah sambutan para perawatnya di pagi hari dengan senyum mereka yang khas penuh keceriaan ketika tamu atau pelanggan mereka datang,ku menjawabnyapun dengan kalimat yang sama, pelayanannya seperti pramugari ketika dipesawat, wuiiihh! lumayan menjadi betah...hmmmm. Baiklah, kuganti sandalku dengan すり派(suripa) sandal khas jepang, untuk memasuki ruangan dan mendaftar serta menunggu giliran dipanggil, sembariku perhatikan disetiap sudut ruangan, walaupun modelnya minimalis, tapi ditata dengan indah, rapi, serta nyaman, suasana dirumah sakitpun seperti suasana Hotel ketika dinegaraku, ditambah lagi dengan pelayanan yang sangat maksimal, kita diperlakukan dengan penuh hormat dan wibawa, tak pandang status, ataupun asal usul.hmmm...itulah sekilas gambaran kecil tentang pelayanan yang berlaku dinegeri sakura itu.

Tak lama kemudian namakupun dipanggil oleh perawatnya, datang menghampiri serta menunduk tanda hormat dan mengulang namaku アブドル ラウフ さん。(abudoru raufu san) "Tuan Abdul Rauf...wuiihh, di panggil dengan penuh hormat dan menghargai membuatku tambah nyaman, walaupun agak aneh terdengar olehku ketika namaku ada perubahan ketika dipanggil, baiklah...bisa dimaklumi karena beberapa vokal tertentu ada yang mereka kurang terbiasa diucapakan, apalagi nama yang asing bagi oran-orang bemata sipit itu, karena namaku adalah do`a bagiku ketika disebut.

Akhirnya kumemasuki bilik yang telah disediakan untuk pemeriksaan, ruangannya benar-benar bersih, aroma rumah sakit sebagaimana mestinyapun tidak tercium, alat-alatnya yang canggih membuatku tenang, serta pelayananannya yang sangat ramah, jadi betah dech, tapi gak ketan!!heheeh...hmmm, diawali dengan obrolan kecil dengan sang dokternya, sampai akhirnya disampaikan beberapa keluhan, karena akhir-akhir ini gusi paling belang digigiku terasa aneh seperti ada yang mengganjal, setelah melewati pemeriksaan serta analisis, ternyata gigiku yang paling belakang tumbuhnya tidak normal sebagaimana mestinya, miringgggg!!! waduuhh.....sehingga mengakibatkan gusinya menutupi gigi tersebut, secara tidak sengaja akan tergigit ketika mengunyah sesuatu oleh gigi yang berlawanan, akhirnya pemeriksaan selesai, sang dokterpun memberikan beberapa solusi yang sedikitku tersentak kaget, dikarenakan gigiku dikatakan "意味 が ない(imi ga nai) tidak ada artinya kalau dibiarkan yang hanya akan membuat gusi sakit sepanjang hayat, dan akhirnya divonis akan dicabut..woww, atit pastinya! omponk,...untungx gigi paling blakang, ditambah lagi rasa kwatir karena besok akan mengadakan perjalanan ke Luar Negri,HHmmmm..gak bisa menikmati hidangan ala shanghai nih, pikniknya gak mengasyikan nih, dan juga sebagian pasien lainnnya kebanyakan datang untuk mengganti gigi atau minimal menambalnya, tapi kondisi gigi saya harus dicabut, aahhh....Baiklah, kupikirkan terlebih dahulu.

Diamku terbawa oleh lamunan, sekilas terbayang dalam renunganku, ku sadari...seandainya Allah memvonis bahwa nyawa akan dicabut padahal maut datang tanpa diundang serta tanpa sepengetahuan kita sekalipun,sakitkah ketika roh di cabut? wuuuiiihhh...tak akan bisa dibandingkan, dengan sesakit apapun yang pernah kita rasakan sekarang, serta di Al-Qur`an pun digambarkan seperti di sayat ribuan pedang yang tajam...mampus dachhh klo blon siap menghadapi azal!! Hmmm... dan di cap 意味がない oleh Allah ketika amal kebaikan tidak mencukupi jaminan memasuki surga-Nya, naudzubillah Minzalik...atau bagaimana dengan kegiatan-kegiatan serta jadwal yang telah kita rencanakan dengan matang dan sistematis? Allahu.....

すみません。。。(summimasen)"maaf, permisi..." begitulah sapaan dari perawat menyadarkanku dalam renunganku, tapi akhirnya sang dokter menawarkan pilihan kepadaku, kalau tidak siap dicabut sekarang bisa dilain hari,hhmmmm....sedikit lega!! setelah menerima resep dan obat yang diberikan akupun pulang setelah menyelesaikan administrasinya. Akupun pulang dengan penuh rasa syukur tapi dihatiku masih takut dengan sang Maha Pencipta, Rabbku, Allahu...penentu mautku. dengan keputusan dokter tadi ternyata masih bisa diundur dan ditunda, tapi bagaimana dengan maut? roh kita yang telah dicabut, kemudian jasad yang hanya tertutup kain kafan,yang terkubur didalam tanah, Bisakah kita meminta kembali ke dunia? untuk memperbaiki amal-amal kita....atau menyelsaikan semua rencana yang telah kita susun dengan rapi? Allahu...sungguh Kekuasaan-Mu tidak tertandingi, kenikmatan yang Engkau berikan tak terkira, waktu, Iman, kesehatan,dan masiha banyak yang tak mungkin mampu kita hitung oleh hamba-Mu ini.....Ampunilah Hamba-Hamba-Mu ini ya Rabb...

倉敷市、日本。。。



Monday 25 April 2011

Mahdin..my stronger little brother!

Diawali saat kami memasuki sekolah dasar, pada saat itu kehadiran adikku Mahdin, bak musibah bagiku. Bagaimana tidak, apa yang aku bisa pasti dia bisa, sebetulnya lumrah karena umur kamipun hanya beda 2 tahun, jadi kami bisa dikatakan sebaya, tak heran di setiap permasalahan selalu berselisih yang berujung adu fisik, berkelahi.
Pada saat itu, aku benar benar belum bisa mengerti arti kehadiran mahluk yang satu ini, bahkan ketika kami di sekolahkan di satu sekolah, kami selalu bergiliran menduduki rangking tertinggi, tak ayal akupun merasa tersaingi.
Tak tahan, akhirnya dengan nekat aku memutuskan pindah ke sekolah yang lain, agar tidak terus diganggu dan tak harus bersaing dengan dia, aneh bukan!!!
Tindakanku ini sempat membuat orang tua bingung, biaya sekolahpun jadi berlipat. Sayangnya pada saat itu ego kami sedang tinggi, tidak ada yang mau mengalah. Bertambah parah rasanya untuk ku ketika setiap apa yang ku miliki Mahdin pun menginginkannya. Setiap apa yang ku lakukan dia lakukan juga, terus begitu,, hilang akal aku dibuatnya, jengah rasanya..
Ketika aku berjualan, Mahdin ikut berjualan, padahal pelanggan utamaku adalah dari pihak keluarga, dan otomatis dengan hadirnya dia, pelanggan jadi berkurang. Setiap lomba yang diadakan di setiap kecamatan kami selalu berhadapan untuk bertanding membawa nama sekolah masing-masing.
Tapi pernah satu ketika, kehadirannya seolah tak berarti bagiku, saat itu aku merasa unggul dari Mahdin, bagaimana tidak, sekolah berketetapan untuk mempersingkat masa sekolahku, sehingga tingkatanku lebih tinggi dari Mahdin. Hal itu membuatku terlihat lebih. Sayang, tampaknya dia tak jera dan tak lelah bersaing denganku,,,hmmm menjengkelkan...
Lain halnya dalam urusan pekerjaan rumah, aku dan Mahdin adalah partner sejati. Disitulah aku bisa melihat sorot bangga dan salut kedua orang tuaku. Kami memang bersaing tapi dalam urusan pekerjaan rumah kami adalah partner.
Pernah suatu masa, daya kerja ku dan Mahdin benar benar diuji. Ketika itu dua saudaraku kuliah di Pulau Lombok, di ibu kota propinsi, Mataram. Jarak yang sedemikian jauh, menuntut kami bekerja lebih maksimal membantu keluarga. Musim berganti musim kami bertiga jungkir balik di sawah untuk membiayai kuliah mereka. Saat itulah aku menjadi saudara tertua. Hari-hariku pun lebih banyak di habiskan di sawah, pulang kerumah hanya beberapa kali dalam seminggu. Berangkat sekolah dari sawah, pulang pun kembali ke sawah.
Besar harapanku dan keluarga setelah mereka kembali dari perantauan kuliah, kami pun akan terbantu dalam hal pendidikan, dan memang itulah yang mmbuat kami termotivasi untuk terus bekerja mengais setiap perak rupiah dari hasil panen yang terjual untuk membiayai kuliah mereka.
Singakt cerita, kedua kakakku pun akhirnya dapat menyelesaikan kuliahnya, dengan tepat waktu, bertepatan dengan masanya untuk aku melanjutkan ke sekolah tingkat atas.
Namun harapanku untuk bisa melanjutkan ke sekolah yang selama ini kuidamkan pupus, kandas di tengah jalan. Tak ada biaya lagi, dan kedua kakakku belum juga mendapatkan pekerjaan guna menyokong sekolah ku kelak.
Akhirnya, dengan hanya bermodalkan nekat dan restu Ummi, aku pun berangkat ke kota untuk melanjutkan sekolah, sesuai dengan apa yang kucita citakan selama ini. Sedih rasanya meninggalkan mereka, keluargaku tercinta, terutama mereka, adik adikkku. Kuakui, tak pernah rasanya barang sedetik kami akur, namun ketidakakuran itulah yang membuat rinduku kerap menyeruak. Ironinya, aku jarang pulang kampung....
Singkat cerita, berselang 3 tahun, telah ku tamatkan sekolah kejuruanku, bidang keahlian teknik mesin-otomotif, dengan keahlianku sekarang ini, jelas Mahdin tak bisa menyaingiku lagi. Tersenyum bangga ku di dalam hati. Tapi, senyumku mendadak sirna, entah dengan bagaimana alurnya, lagi lagi dia mampu mensejajarkan langkahnya denganku. Mahdin malah sudah menguasai bidang elektronik, padahal jurusan dibidang itu baru akan dibuka pada tahun ajaran mendatang. Kesal bukan main ku dibuatnya. Mati matian ku belajar, di tempat yang jauh, mengorbankan segala kerinduan, dan Mahdin dengan lenggang kakung menguasai bidang yang lain,,, hmmm baiklah kita mulai lagi kataku dalam hati.
Hal yang menggembirakan bagiku, pengumuman lulusnya aku untuk program beasiswa D3 di Bandung, nilai plus bagiku dihadapan Mahdin.
Justru di saat itulah kurasakan sesuatu yang aneh. Saat ku disibukkan dengan proses administrasi beasiswa, Mahdin mulai sakit sakitan. Selama seminggu, ketika menjelang maghrib dan subuh, Mahdin mengeluh semua tulangnya sakit.
Ah, saat itu mana ku tahu bagaimana mestinya menghadapi Mahdin bahkan dalam kondisi sakitnya. Tak jarang aku mengomelinya, karena menurutku saat itu Mahdin yang penuh semangat dan percaya diri berubah menjadi orang yang sukamengeluh.
Di sisi lain, aku merasa sedih ketika melihat kondisinya semakin parah, dan akhirnya, saat tepat seminggu, Mahdin mengucapkan sesuatu, yang ternyata menjadi permintaan pertama dan terakhirnya padaku. Mahdin meminta segelas air dan agar aku duduk di sampingnya. Seiring tegukkan air yang masuk ke kerongkongannya, air mataku meleleh di pipi tanpa ku sadari.
Pada hari itulah, dengan mutlak, ku menyadari, ku dikalahkan oleh Mahdin. Dikalahkan oleh perasaan getir, dikalahkan oleh perasaan tak tega. Pilu rasanya hati menyaksikan sosok yang di masa lalu kerap ku kalahkan dan kubuat menangis. Sosok itu adalah adikku, adikku Mahdin yang selalu tak mau kalah, adikku Mahdin yang selalu ingin setara, tapi kini, tanpa Mahdin berbuat apa apa, aku menangis.
Satu nasehatnya, yang membuatku berubah , diucapkannya saat itu. Mahdin berkata ” dou ma sasa’e, kone na ngau, ntika, dese ro ntau lawara bune be rau na dou, ta wa’uku kaka’o ba ita, pala sabuapa diragu kai ba mada di ita, samadaku daw’umu kaka’o mu ndaimu” (kakakku, bagaimanapun hebatnya, cantiknya, pintarnya, kayanya orang, pasti mampu kakak taklukkan, tapi satu yang ku khawatirkan pada dirimu kak, yaitu dirimu sendiri, semoga kakak mampu menaklukkan diri sendiri).
Subhanallah….diamku di buatnya. Tak tahu aku bahwa Ummi keluar dari tempat sholatnya dan mendapati kami berdua berpelukan. Menangis sesenggukan sendirian, sementara Mahdin masih tersenyum dalam diamnya. Kuletakkan kepalanya di bantal. Satu persatu keluarga berdatangan. Sesaat aku menjadi semakin tak mengerti ketika semuanya menangis. Aku bingung, kenapa dengan mereka, baru datang langsung menangis. Sedangkan Mahdin, masih menghias bibirnya dengan senyum, tak terlihat raut wajah kesakitan pada hari itu.
Rumah semakin ramai, sementara aku masih belum bisa menyimpulkan apa yang terjadi. Sejujurnya bukan tak bisa, tapi aku belum siap menerima kabar ini bahkan tak pernah siap, dan ketika Abu mengucapkan kalimat “Inalillahi wa inalillahi wa raji’un” beberapa kali, aku tetap belum percaya, belum bisa menerima (bahkan mungkin sampai saat ini) akan kepergiannya, dan akupun hilang dalam ketidaksadaranku…
Itulah Mahdin. Sejak kepergiannya, kumenyadari kehadirannya begitu berarti dalam setiap langkahku. Hingga kini, kehadirannya membuatku mampu menaklukkan diri. Banyak hikmah atas kehadirannya. Ketika dia ikut berjualan yang membuat pelangganku terbagi, membuatku harus lebih inovatif untuk mencari pelanggan dan menjajakan dagangan diluar kampung dan keluarga, alhasil, aku bisa menjual 2 X lipat lebih banyak. Setiap pelajaran yang kudapat, dan dia selalu bisa menyaingi, memaksaku untuk terus lebih giat lagi belajar…
Ternyata, itulah maksud Allah menghadirkan Mahdin untukku. Darinya ku kenal apa itu semangat. Kini Mahdin telah pulang lebih dulu ke rumah abadinya yang penuh kebahagiaan.