Monday 25 April 2011

Mahdin..my stronger little brother!

Diawali saat kami memasuki sekolah dasar, pada saat itu kehadiran adikku Mahdin, bak musibah bagiku. Bagaimana tidak, apa yang aku bisa pasti dia bisa, sebetulnya lumrah karena umur kamipun hanya beda 2 tahun, jadi kami bisa dikatakan sebaya, tak heran di setiap permasalahan selalu berselisih yang berujung adu fisik, berkelahi.
Pada saat itu, aku benar benar belum bisa mengerti arti kehadiran mahluk yang satu ini, bahkan ketika kami di sekolahkan di satu sekolah, kami selalu bergiliran menduduki rangking tertinggi, tak ayal akupun merasa tersaingi.
Tak tahan, akhirnya dengan nekat aku memutuskan pindah ke sekolah yang lain, agar tidak terus diganggu dan tak harus bersaing dengan dia, aneh bukan!!!
Tindakanku ini sempat membuat orang tua bingung, biaya sekolahpun jadi berlipat. Sayangnya pada saat itu ego kami sedang tinggi, tidak ada yang mau mengalah. Bertambah parah rasanya untuk ku ketika setiap apa yang ku miliki Mahdin pun menginginkannya. Setiap apa yang ku lakukan dia lakukan juga, terus begitu,, hilang akal aku dibuatnya, jengah rasanya..
Ketika aku berjualan, Mahdin ikut berjualan, padahal pelanggan utamaku adalah dari pihak keluarga, dan otomatis dengan hadirnya dia, pelanggan jadi berkurang. Setiap lomba yang diadakan di setiap kecamatan kami selalu berhadapan untuk bertanding membawa nama sekolah masing-masing.
Tapi pernah satu ketika, kehadirannya seolah tak berarti bagiku, saat itu aku merasa unggul dari Mahdin, bagaimana tidak, sekolah berketetapan untuk mempersingkat masa sekolahku, sehingga tingkatanku lebih tinggi dari Mahdin. Hal itu membuatku terlihat lebih. Sayang, tampaknya dia tak jera dan tak lelah bersaing denganku,,,hmmm menjengkelkan...
Lain halnya dalam urusan pekerjaan rumah, aku dan Mahdin adalah partner sejati. Disitulah aku bisa melihat sorot bangga dan salut kedua orang tuaku. Kami memang bersaing tapi dalam urusan pekerjaan rumah kami adalah partner.
Pernah suatu masa, daya kerja ku dan Mahdin benar benar diuji. Ketika itu dua saudaraku kuliah di Pulau Lombok, di ibu kota propinsi, Mataram. Jarak yang sedemikian jauh, menuntut kami bekerja lebih maksimal membantu keluarga. Musim berganti musim kami bertiga jungkir balik di sawah untuk membiayai kuliah mereka. Saat itulah aku menjadi saudara tertua. Hari-hariku pun lebih banyak di habiskan di sawah, pulang kerumah hanya beberapa kali dalam seminggu. Berangkat sekolah dari sawah, pulang pun kembali ke sawah.
Besar harapanku dan keluarga setelah mereka kembali dari perantauan kuliah, kami pun akan terbantu dalam hal pendidikan, dan memang itulah yang mmbuat kami termotivasi untuk terus bekerja mengais setiap perak rupiah dari hasil panen yang terjual untuk membiayai kuliah mereka.
Singakt cerita, kedua kakakku pun akhirnya dapat menyelesaikan kuliahnya, dengan tepat waktu, bertepatan dengan masanya untuk aku melanjutkan ke sekolah tingkat atas.
Namun harapanku untuk bisa melanjutkan ke sekolah yang selama ini kuidamkan pupus, kandas di tengah jalan. Tak ada biaya lagi, dan kedua kakakku belum juga mendapatkan pekerjaan guna menyokong sekolah ku kelak.
Akhirnya, dengan hanya bermodalkan nekat dan restu Ummi, aku pun berangkat ke kota untuk melanjutkan sekolah, sesuai dengan apa yang kucita citakan selama ini. Sedih rasanya meninggalkan mereka, keluargaku tercinta, terutama mereka, adik adikkku. Kuakui, tak pernah rasanya barang sedetik kami akur, namun ketidakakuran itulah yang membuat rinduku kerap menyeruak. Ironinya, aku jarang pulang kampung....
Singkat cerita, berselang 3 tahun, telah ku tamatkan sekolah kejuruanku, bidang keahlian teknik mesin-otomotif, dengan keahlianku sekarang ini, jelas Mahdin tak bisa menyaingiku lagi. Tersenyum bangga ku di dalam hati. Tapi, senyumku mendadak sirna, entah dengan bagaimana alurnya, lagi lagi dia mampu mensejajarkan langkahnya denganku. Mahdin malah sudah menguasai bidang elektronik, padahal jurusan dibidang itu baru akan dibuka pada tahun ajaran mendatang. Kesal bukan main ku dibuatnya. Mati matian ku belajar, di tempat yang jauh, mengorbankan segala kerinduan, dan Mahdin dengan lenggang kakung menguasai bidang yang lain,,, hmmm baiklah kita mulai lagi kataku dalam hati.
Hal yang menggembirakan bagiku, pengumuman lulusnya aku untuk program beasiswa D3 di Bandung, nilai plus bagiku dihadapan Mahdin.
Justru di saat itulah kurasakan sesuatu yang aneh. Saat ku disibukkan dengan proses administrasi beasiswa, Mahdin mulai sakit sakitan. Selama seminggu, ketika menjelang maghrib dan subuh, Mahdin mengeluh semua tulangnya sakit.
Ah, saat itu mana ku tahu bagaimana mestinya menghadapi Mahdin bahkan dalam kondisi sakitnya. Tak jarang aku mengomelinya, karena menurutku saat itu Mahdin yang penuh semangat dan percaya diri berubah menjadi orang yang sukamengeluh.
Di sisi lain, aku merasa sedih ketika melihat kondisinya semakin parah, dan akhirnya, saat tepat seminggu, Mahdin mengucapkan sesuatu, yang ternyata menjadi permintaan pertama dan terakhirnya padaku. Mahdin meminta segelas air dan agar aku duduk di sampingnya. Seiring tegukkan air yang masuk ke kerongkongannya, air mataku meleleh di pipi tanpa ku sadari.
Pada hari itulah, dengan mutlak, ku menyadari, ku dikalahkan oleh Mahdin. Dikalahkan oleh perasaan getir, dikalahkan oleh perasaan tak tega. Pilu rasanya hati menyaksikan sosok yang di masa lalu kerap ku kalahkan dan kubuat menangis. Sosok itu adalah adikku, adikku Mahdin yang selalu tak mau kalah, adikku Mahdin yang selalu ingin setara, tapi kini, tanpa Mahdin berbuat apa apa, aku menangis.
Satu nasehatnya, yang membuatku berubah , diucapkannya saat itu. Mahdin berkata ” dou ma sasa’e, kone na ngau, ntika, dese ro ntau lawara bune be rau na dou, ta wa’uku kaka’o ba ita, pala sabuapa diragu kai ba mada di ita, samadaku daw’umu kaka’o mu ndaimu” (kakakku, bagaimanapun hebatnya, cantiknya, pintarnya, kayanya orang, pasti mampu kakak taklukkan, tapi satu yang ku khawatirkan pada dirimu kak, yaitu dirimu sendiri, semoga kakak mampu menaklukkan diri sendiri).
Subhanallah….diamku di buatnya. Tak tahu aku bahwa Ummi keluar dari tempat sholatnya dan mendapati kami berdua berpelukan. Menangis sesenggukan sendirian, sementara Mahdin masih tersenyum dalam diamnya. Kuletakkan kepalanya di bantal. Satu persatu keluarga berdatangan. Sesaat aku menjadi semakin tak mengerti ketika semuanya menangis. Aku bingung, kenapa dengan mereka, baru datang langsung menangis. Sedangkan Mahdin, masih menghias bibirnya dengan senyum, tak terlihat raut wajah kesakitan pada hari itu.
Rumah semakin ramai, sementara aku masih belum bisa menyimpulkan apa yang terjadi. Sejujurnya bukan tak bisa, tapi aku belum siap menerima kabar ini bahkan tak pernah siap, dan ketika Abu mengucapkan kalimat “Inalillahi wa inalillahi wa raji’un” beberapa kali, aku tetap belum percaya, belum bisa menerima (bahkan mungkin sampai saat ini) akan kepergiannya, dan akupun hilang dalam ketidaksadaranku…
Itulah Mahdin. Sejak kepergiannya, kumenyadari kehadirannya begitu berarti dalam setiap langkahku. Hingga kini, kehadirannya membuatku mampu menaklukkan diri. Banyak hikmah atas kehadirannya. Ketika dia ikut berjualan yang membuat pelangganku terbagi, membuatku harus lebih inovatif untuk mencari pelanggan dan menjajakan dagangan diluar kampung dan keluarga, alhasil, aku bisa menjual 2 X lipat lebih banyak. Setiap pelajaran yang kudapat, dan dia selalu bisa menyaingi, memaksaku untuk terus lebih giat lagi belajar…
Ternyata, itulah maksud Allah menghadirkan Mahdin untukku. Darinya ku kenal apa itu semangat. Kini Mahdin telah pulang lebih dulu ke rumah abadinya yang penuh kebahagiaan.