Tersentak kaget, terbangun dari tidur karena bunyi alarm. Kupaksakan diri untuk beranjak dari kelelapan dan kenikmatan tidur, kubasuh sebagian anggota badan dengan air hangat sebagai syarat untuk menghadap sang Rabbi, untuk mengadu dan memohon petunjuk akan perjalanan hidup dan usia yang terus menua ini, dinginnya malam tak ayal membuatku mengigil, walaupun musim dingin mulai berakhir dan mulai digantikan dengan musim semi, yang ditandai dengan mekarnya bunga-bunga sakura di negeri matahari ini.
Setelah kupersembahkan sujudku kepada Rabbi, ditutup dengan rangkaian harapan dan asa dari setiap permohonan yang terucap oleh hati lewat lisan, kulangkahkan kaki menuju dapur, mencari sesuatu untuk sekedar mengisi perut sebagai bekal untuk menjalankan salah satu ibadah yang disunnahkan. Kesekian kali sudah kubiasakan shaum dinegeri sakura ini. Membuatku banyak belajar dan mendapatkan hikmah dinegeri yang penuh dengan gemerlap duniawi ini, dimana manusia-manusia berjalan dengan potensi yang mereka angkuhkan tanpa mau mengenal siapa Yang Maha Berpotensi dari segala-galanya. Mungkin suatu yang tidak mungkin untuk melakukan ibadah dinegeri ini, karena banyaknya keindahan dan kenikmatan dunia yang ditawarkan dalam setiap langkah, tapi disinilah tantangan bagi diriku, untuk tetap berpendirian teguh dengan aqidahku, tak menukarkan kenikmatan akhirat yang telah dijanjikan Sang Khalik dengan kenikmatan dunia yang hanya sesaat. Dengan segala Rahmat dan Petunjuk Sang Khalik, bathin ini masih diterangkan oleh cahaya-Nya. Dimana di satu sisi manusia lain dibutakan dengan kenikmatan dunia yang ditawarkan.
Sesaat sebelum sang fajar menyingsing, kusempatkan membuka catatan kecilku. Untuk kesekian kalinya ku raih penaku, sekedar menorehkan coretan-coretan mengenai apa yang terjadi dan telah dilakukan. Teringat akan masa kecilku yang sungguh menakjubkan dengan segala skenario Allah di dalamnya. Walau begitu, tak jarang terbesit dihati penyesalan dan rasa malu akan kisah lalu dan latar belakang keluarga yang hanya berasal dari pelosok negeri agraris. Namun tak kalah banggaku akan keluarga dan lingkungan yang sarat dengan pendidikan.
Saat itu, di setiap hari minggu, kuhabiskan waktu dengan menggembalakan kambing-kambing. Sejak pagi, kutemani kambing-kambingku menyantap rerumputan di padang pegunungan dekat kampung. Perlahan, sang mataharipun mulai meninggi, teriknya mulai menyengat, tak lama panasnya pun membalut kulitku. Ketika sang matahari telah meninggi dan tepat diatas kepala, ku sisihkan waktu untuk beristirahat dibawah pohon. Tanpa sadar akupun terlelap dalam tidur. Tiba-tiba aku terbangun oleh seorang kakek tua yang juga hendak beristirahat dibawah pohon itu. Kucoba pejamkan kembali mataku, tapi tak bisa. Akhirnya kuputuskan untuk mengajak kakek itu bicara. Diawali dengan obrolan-obrolan kecil, aku semakin penasaran dengan kakek itu. Rambutnya telah putih beruban, gigi yang telah banyak tanggal, dan tubuh yang sudah tidak tegak lagi, menandakan usianya yang sudah sangat tua, tapi tampaknya tidak memudarkan semangatnya untuk terus bekerja. Ku coba ajukan satu pertanyaan sambil lalu padanya, hal apa yang beliau sesalkan di usia tua ini. Sambil tersenyum dengan khasnya, ia menoleh kepadaku, ia berkata,hal yang paling disesali adalah saat ia tidak memanfaatkan waktunya ketika muda dengan bekerja keras, hingga akhirnya di masa sekarang, dimana dirinya sudah berkeluarga dan memiliki anak, sudah tak ada daya lagi untuk berbuat banyak, bahkan anak-anaknya pun tak begitu bisa diharapkan, tidak jauh berbeda dengan dirinya dulu, banyak menyia-nyiakan waktu dengan berkumpul dengan kawan, melakukan hal-hal yang tidak berguna, menyebabkannya untuk bekerja justru diusia setua ini, sekedar untuk mempertahankan hidupnya sendiri. Mengharapkan anak-anaknya, sangatlah tidak mungkin karena mereka pun kesulitan. Kisahnya, membuatku terhanyut dalam rasa iba dan ketakutan yang menyeruak dalam diri. Takut jika masa tuaku akan sepertinya.
Haripun mulai sore, setelah Pak Tua tadi berpamitan pulang, kumulai mengarahkan gembalaanku untuk dibawa pulang. Penggembalaan hari ini diakhiri dengan cerita Pak Tua.Aku sampai dirumah, tepat ketika matahari mulai terbenam. Segera ku kandangi kambing-kambingku. Tak lama, terdengar bedug ditabuh, menandakan masuknya waktu shalat maghrib. Bergegas kepenampungan air untuk berwudhu, kurapikan pakaian dan berlari-lari kecil kearah masjid. Dimasjid kudapati shaf terdepan, kurapatkan barisan sambil menoleh kekiri dan kekanan memeriksa kelurusan barisan shafku. Beberapa sujud kusembahkan, kututup dengan salam, serta kuakhiri dengan beberapa potongan lafadz do’a yang kuingat dan kupelajari di sekolah. Tak lama, datang seseorang menghampiri. Rupanya penjaga masjid, menanyakan kenapa aku terlambat datang hari ini, hingga tak sempat mengumandangkan adzan, untuk memberitahu pada yang lain akan tibanya waktu sholat. Kujelaskan saja hari ini pulang terlambat dari menggembalakan kambing. Setelah bercakap-cakap sedikit, kucoba bertanya penjaga mesjid, pertanyaan yang mirip dengan yang kutanyakan pada Pak Tua tadi siang. Sambil memperbaiki duduknya, dengan bersila, mulailah dijawab pertanyaanku tadi. Sambil melihat ke langit-langit masjid, mengalirlah cerita, tentang masa mudanya. Lagi-lagi menyesal dengan masa mudanya. Aktifitasnya sekarang tidak seperti yang dilakukan saat mudanya. Teramat menyesal ketika masa mudanya tidak dimanfaatkan dengan sungguh-sungguh beribadah. Sekarang haruslah ia mencukupkan dengan bacaan Al-Qur’an yang terbata-bata dan kepayahan dalam menghafal surat-surat, karena dinding otaknya sudah tak kuat lagi melekatkan. Disela-sela pembicaraan, dia memintaku untuk melihat ke seluruh isi masjid, untuk memeriksa adakah pemuda yang datang kemasjid ini. Tak perlu kujawab dengan lisan, sudah jelas terlihat, tak ada yang datang melainkan hanya orang-orang tua dan sedikit anak-anak kecil seusiaku yang meramaikan. Aku hanya terdiam.Tersentak kukembali dari lamunan. Tanpa sadar, dalam diam ku memohon maaf kepada sang Rabbi atas kelalaian diusia muda ini. Sempat terbesit dalam hati, untuk menikmati segala tawaran dunia, tanpa pilih-pilih, selagi masih muda, untuk apa pusing-pusing, cukuplah ibadah di usia tua saja. Astaghfirullah, bolehkah begitu, memilih waktu untuk beribadah berdasar pada keegoan dan nafsu. Suatu kekhilafan yang sangat memalukan dihadapan Allah.
Bagaimana jika usia ini tidak sempat mengecap senja dan bertaubat atas dosa-dosa di masa muda? Sungguh kematian akan datang kapanpun, dimanapun tanpa ada tanda dan tak pernah meminta izin kepada kita (untuk apa meminta izin, toh kita hanya ‘menyewa’ jasad dan ruh ini).
Hari itu, sungguh menjadi saat yang penuh dengan pelajaran yang luar biasa. Kupetik pengalaman dan hikmah dari Pak Tua dan penjaga mesjid. Tak akan kusia-siakan lagi waktu. Ku tak mau menyesal seperti mereka. Usai shalat ‘isya, bergegas ku pulang ke rumah. Kulanjutkan kegiatan dengan membuka pelajaran besok.
Keesokan hari, seusai shalat subuh, ku sempatkan mengantar dagangan ibu ke pasar. Hari ini aku bergegas lebih awal ke sekolah, karena di hari ini adalah giliranku untuk menjadi pemimpin upacara penaikan bendera. Upacara pagi ini begitu khidmat, dengan kepala sekolah sebagai pembinanya. Beliau adalah figur yang sangat kusenangi, karena setiap sebelum pulang, beliau selalu meminjamkan buku untuk kubaca, tak perduli apakah aku suka atau tidak. Terkadang tak sempat kuselesaikan membaca buku-buku itu karena tak sanggup penuhi target waktu yang diberikan kepala sekolah untuk menyelesaikannya.nUpacara pagipun selesai dengan dibubarkannya barisan. Kamipun memasuki kelas masing-masing. Pelajaran hari ini selesai sebelum waktunya, karena sang guru harus meninggalkan kelas untuk selesaikan urusannya. Akhirnya jam terakhir diisi oleh kepala sekolah. Beliau memberikan arahan-arahan. Pembicaraan beliau membuatku tertarik, karena disela-sela pembicaraanya ,beliau menggunakan bahasa yang saat itu belum kupahami, yaitu bahasa Inggris. Beliau sangat pandai, tak jarang beliau membantu kami menyelesaikan setiap mata pelajaran yang dianggap sulit. Ingin sekali pintar seperti beliau. Muncul dalam hatiku keinginan untuk mengajukan pertanyaan, sama dengan yang pernah kutanyakan pada Pak Tua dan penjaga mesjid, tapi belum sempat kubertanya, tiba-tiba kepala sekolah mengungkapkan sebuah kalimat, yang merupakan jawaban dari pertanyaan yang belum lagi kuungkapkan. Sama seperti sebelumnya, beliaupun mengatakan menyesal di hari tuanya ini. Dimana masa mudanya tidak dimanfaatkan dengan belajar sungguh-sungguh. Waktunya banyak terbuang dengan segala aktifitas yang tidak berguna. Kata penutup dari kalimatnya, beliau menasihati kami dengan beberapa potongan hadist dari Rasulullah, untuk menyemangati kami dalam belajar.
Seingatku hadist itu berbunyi, “ Tuntutlah Ilmu walaupun sampai dinegeri china”. Kemudian beliau melanjutkan, “Tuntutlah sampai masuk ke liang kubur sekalipun”. Beliau mengatakan dengan penuh semangat. Mencari ilmu tidak harus memliki orang tua yang kaya, orang tua yang berjabatan, sehingga jika tidak demikian maka harus bermalas-malasan.
Sungguh luar biasa, banyak pelajaran yang kudapat dari mereka.
Dengan penuh pengharapan kepada Sang Khalik, andai raga ini selalu diberi kesempatan untuk mencari limu-Nya. Ku tak ingin menyesal di hari kemudian, bahkan ku tak ingin menyesal di akhirat kelak, dimana semuanya tidak bisa terulang dan di ulang lagi.
Di negeri sakura ini, apa yang telah orang-orang bagi padaku dulu, kucoba untuk menerapkannya. Awalnya kumencoba, kemudian kujadikan itu semua menjadi kebutuhan dan bekal dalam mengarungi perjalanan hidup yang sesaat ini.
Beberapa hari yang lalu, sebelum catatan kecilku ini rampung, kucoba menghubungi mereka. Melalui keluarga, kudapati kabar tentang ketiadaan mereka di alam fana ini. Ingin kukatakan langsung pada mereka, bahwa apa yang selama ini tak bisa mereka lakukan saat muda, telah kulakukan dengan baik. Namun ku kubur niat itu, karena sudah tak mungkin kulakukan, hanya lantunan ayat-ayat dan do’a kusampaikan dan kutitipkan, semoga mereka di tempatkan disebaik-baiknya tempat disisi Allah SWT. Amin…
日本、岡山
2010年 04月 09日
Al raf Bima…
Setelah kupersembahkan sujudku kepada Rabbi, ditutup dengan rangkaian harapan dan asa dari setiap permohonan yang terucap oleh hati lewat lisan, kulangkahkan kaki menuju dapur, mencari sesuatu untuk sekedar mengisi perut sebagai bekal untuk menjalankan salah satu ibadah yang disunnahkan. Kesekian kali sudah kubiasakan shaum dinegeri sakura ini. Membuatku banyak belajar dan mendapatkan hikmah dinegeri yang penuh dengan gemerlap duniawi ini, dimana manusia-manusia berjalan dengan potensi yang mereka angkuhkan tanpa mau mengenal siapa Yang Maha Berpotensi dari segala-galanya. Mungkin suatu yang tidak mungkin untuk melakukan ibadah dinegeri ini, karena banyaknya keindahan dan kenikmatan dunia yang ditawarkan dalam setiap langkah, tapi disinilah tantangan bagi diriku, untuk tetap berpendirian teguh dengan aqidahku, tak menukarkan kenikmatan akhirat yang telah dijanjikan Sang Khalik dengan kenikmatan dunia yang hanya sesaat. Dengan segala Rahmat dan Petunjuk Sang Khalik, bathin ini masih diterangkan oleh cahaya-Nya. Dimana di satu sisi manusia lain dibutakan dengan kenikmatan dunia yang ditawarkan.
Sesaat sebelum sang fajar menyingsing, kusempatkan membuka catatan kecilku. Untuk kesekian kalinya ku raih penaku, sekedar menorehkan coretan-coretan mengenai apa yang terjadi dan telah dilakukan. Teringat akan masa kecilku yang sungguh menakjubkan dengan segala skenario Allah di dalamnya. Walau begitu, tak jarang terbesit dihati penyesalan dan rasa malu akan kisah lalu dan latar belakang keluarga yang hanya berasal dari pelosok negeri agraris. Namun tak kalah banggaku akan keluarga dan lingkungan yang sarat dengan pendidikan.
Saat itu, di setiap hari minggu, kuhabiskan waktu dengan menggembalakan kambing-kambing. Sejak pagi, kutemani kambing-kambingku menyantap rerumputan di padang pegunungan dekat kampung. Perlahan, sang mataharipun mulai meninggi, teriknya mulai menyengat, tak lama panasnya pun membalut kulitku. Ketika sang matahari telah meninggi dan tepat diatas kepala, ku sisihkan waktu untuk beristirahat dibawah pohon. Tanpa sadar akupun terlelap dalam tidur. Tiba-tiba aku terbangun oleh seorang kakek tua yang juga hendak beristirahat dibawah pohon itu. Kucoba pejamkan kembali mataku, tapi tak bisa. Akhirnya kuputuskan untuk mengajak kakek itu bicara. Diawali dengan obrolan-obrolan kecil, aku semakin penasaran dengan kakek itu. Rambutnya telah putih beruban, gigi yang telah banyak tanggal, dan tubuh yang sudah tidak tegak lagi, menandakan usianya yang sudah sangat tua, tapi tampaknya tidak memudarkan semangatnya untuk terus bekerja. Ku coba ajukan satu pertanyaan sambil lalu padanya, hal apa yang beliau sesalkan di usia tua ini. Sambil tersenyum dengan khasnya, ia menoleh kepadaku, ia berkata,hal yang paling disesali adalah saat ia tidak memanfaatkan waktunya ketika muda dengan bekerja keras, hingga akhirnya di masa sekarang, dimana dirinya sudah berkeluarga dan memiliki anak, sudah tak ada daya lagi untuk berbuat banyak, bahkan anak-anaknya pun tak begitu bisa diharapkan, tidak jauh berbeda dengan dirinya dulu, banyak menyia-nyiakan waktu dengan berkumpul dengan kawan, melakukan hal-hal yang tidak berguna, menyebabkannya untuk bekerja justru diusia setua ini, sekedar untuk mempertahankan hidupnya sendiri. Mengharapkan anak-anaknya, sangatlah tidak mungkin karena mereka pun kesulitan. Kisahnya, membuatku terhanyut dalam rasa iba dan ketakutan yang menyeruak dalam diri. Takut jika masa tuaku akan sepertinya.
Haripun mulai sore, setelah Pak Tua tadi berpamitan pulang, kumulai mengarahkan gembalaanku untuk dibawa pulang. Penggembalaan hari ini diakhiri dengan cerita Pak Tua.Aku sampai dirumah, tepat ketika matahari mulai terbenam. Segera ku kandangi kambing-kambingku. Tak lama, terdengar bedug ditabuh, menandakan masuknya waktu shalat maghrib. Bergegas kepenampungan air untuk berwudhu, kurapikan pakaian dan berlari-lari kecil kearah masjid. Dimasjid kudapati shaf terdepan, kurapatkan barisan sambil menoleh kekiri dan kekanan memeriksa kelurusan barisan shafku. Beberapa sujud kusembahkan, kututup dengan salam, serta kuakhiri dengan beberapa potongan lafadz do’a yang kuingat dan kupelajari di sekolah. Tak lama, datang seseorang menghampiri. Rupanya penjaga masjid, menanyakan kenapa aku terlambat datang hari ini, hingga tak sempat mengumandangkan adzan, untuk memberitahu pada yang lain akan tibanya waktu sholat. Kujelaskan saja hari ini pulang terlambat dari menggembalakan kambing. Setelah bercakap-cakap sedikit, kucoba bertanya penjaga mesjid, pertanyaan yang mirip dengan yang kutanyakan pada Pak Tua tadi siang. Sambil memperbaiki duduknya, dengan bersila, mulailah dijawab pertanyaanku tadi. Sambil melihat ke langit-langit masjid, mengalirlah cerita, tentang masa mudanya. Lagi-lagi menyesal dengan masa mudanya. Aktifitasnya sekarang tidak seperti yang dilakukan saat mudanya. Teramat menyesal ketika masa mudanya tidak dimanfaatkan dengan sungguh-sungguh beribadah. Sekarang haruslah ia mencukupkan dengan bacaan Al-Qur’an yang terbata-bata dan kepayahan dalam menghafal surat-surat, karena dinding otaknya sudah tak kuat lagi melekatkan. Disela-sela pembicaraan, dia memintaku untuk melihat ke seluruh isi masjid, untuk memeriksa adakah pemuda yang datang kemasjid ini. Tak perlu kujawab dengan lisan, sudah jelas terlihat, tak ada yang datang melainkan hanya orang-orang tua dan sedikit anak-anak kecil seusiaku yang meramaikan. Aku hanya terdiam.Tersentak kukembali dari lamunan. Tanpa sadar, dalam diam ku memohon maaf kepada sang Rabbi atas kelalaian diusia muda ini. Sempat terbesit dalam hati, untuk menikmati segala tawaran dunia, tanpa pilih-pilih, selagi masih muda, untuk apa pusing-pusing, cukuplah ibadah di usia tua saja. Astaghfirullah, bolehkah begitu, memilih waktu untuk beribadah berdasar pada keegoan dan nafsu. Suatu kekhilafan yang sangat memalukan dihadapan Allah.
Bagaimana jika usia ini tidak sempat mengecap senja dan bertaubat atas dosa-dosa di masa muda? Sungguh kematian akan datang kapanpun, dimanapun tanpa ada tanda dan tak pernah meminta izin kepada kita (untuk apa meminta izin, toh kita hanya ‘menyewa’ jasad dan ruh ini).
Hari itu, sungguh menjadi saat yang penuh dengan pelajaran yang luar biasa. Kupetik pengalaman dan hikmah dari Pak Tua dan penjaga mesjid. Tak akan kusia-siakan lagi waktu. Ku tak mau menyesal seperti mereka. Usai shalat ‘isya, bergegas ku pulang ke rumah. Kulanjutkan kegiatan dengan membuka pelajaran besok.
Keesokan hari, seusai shalat subuh, ku sempatkan mengantar dagangan ibu ke pasar. Hari ini aku bergegas lebih awal ke sekolah, karena di hari ini adalah giliranku untuk menjadi pemimpin upacara penaikan bendera. Upacara pagi ini begitu khidmat, dengan kepala sekolah sebagai pembinanya. Beliau adalah figur yang sangat kusenangi, karena setiap sebelum pulang, beliau selalu meminjamkan buku untuk kubaca, tak perduli apakah aku suka atau tidak. Terkadang tak sempat kuselesaikan membaca buku-buku itu karena tak sanggup penuhi target waktu yang diberikan kepala sekolah untuk menyelesaikannya.nUpacara pagipun selesai dengan dibubarkannya barisan. Kamipun memasuki kelas masing-masing. Pelajaran hari ini selesai sebelum waktunya, karena sang guru harus meninggalkan kelas untuk selesaikan urusannya. Akhirnya jam terakhir diisi oleh kepala sekolah. Beliau memberikan arahan-arahan. Pembicaraan beliau membuatku tertarik, karena disela-sela pembicaraanya ,beliau menggunakan bahasa yang saat itu belum kupahami, yaitu bahasa Inggris. Beliau sangat pandai, tak jarang beliau membantu kami menyelesaikan setiap mata pelajaran yang dianggap sulit. Ingin sekali pintar seperti beliau. Muncul dalam hatiku keinginan untuk mengajukan pertanyaan, sama dengan yang pernah kutanyakan pada Pak Tua dan penjaga mesjid, tapi belum sempat kubertanya, tiba-tiba kepala sekolah mengungkapkan sebuah kalimat, yang merupakan jawaban dari pertanyaan yang belum lagi kuungkapkan. Sama seperti sebelumnya, beliaupun mengatakan menyesal di hari tuanya ini. Dimana masa mudanya tidak dimanfaatkan dengan belajar sungguh-sungguh. Waktunya banyak terbuang dengan segala aktifitas yang tidak berguna. Kata penutup dari kalimatnya, beliau menasihati kami dengan beberapa potongan hadist dari Rasulullah, untuk menyemangati kami dalam belajar.
Seingatku hadist itu berbunyi, “ Tuntutlah Ilmu walaupun sampai dinegeri china”. Kemudian beliau melanjutkan, “Tuntutlah sampai masuk ke liang kubur sekalipun”. Beliau mengatakan dengan penuh semangat. Mencari ilmu tidak harus memliki orang tua yang kaya, orang tua yang berjabatan, sehingga jika tidak demikian maka harus bermalas-malasan.
Sungguh luar biasa, banyak pelajaran yang kudapat dari mereka.
Dengan penuh pengharapan kepada Sang Khalik, andai raga ini selalu diberi kesempatan untuk mencari limu-Nya. Ku tak ingin menyesal di hari kemudian, bahkan ku tak ingin menyesal di akhirat kelak, dimana semuanya tidak bisa terulang dan di ulang lagi.
Di negeri sakura ini, apa yang telah orang-orang bagi padaku dulu, kucoba untuk menerapkannya. Awalnya kumencoba, kemudian kujadikan itu semua menjadi kebutuhan dan bekal dalam mengarungi perjalanan hidup yang sesaat ini.
Beberapa hari yang lalu, sebelum catatan kecilku ini rampung, kucoba menghubungi mereka. Melalui keluarga, kudapati kabar tentang ketiadaan mereka di alam fana ini. Ingin kukatakan langsung pada mereka, bahwa apa yang selama ini tak bisa mereka lakukan saat muda, telah kulakukan dengan baik. Namun ku kubur niat itu, karena sudah tak mungkin kulakukan, hanya lantunan ayat-ayat dan do’a kusampaikan dan kutitipkan, semoga mereka di tempatkan disebaik-baiknya tempat disisi Allah SWT. Amin…
日本、岡山
2010年 04月 09日
Al raf Bima…